Wednesday 6 May 2015

Recent Economic and Financial Indicators Report

Recent Economic and Financial Indicators Report

Dear para WNI dimanapun Anda berada,
Saya lampirkan laporan ekonomi dan finansial negara-negara di berbagai belahan dunia. Tabel ini diambil dari majalah The Economist edisi cetak di Inggris tanggal 18 April 2015. The Economist adalah salah satu majalah berbasis ekonomi dan bisnis yang berkualitas di Inggris. Dengan harga per eksemplar Rp 100ribu, itu berarti dalam satu semester harga subscription-nya mencapai Rp 2,6 juta dan saya yakin nilai ini sama atau lebih mahal dari rata-rata biaya SPP per semester universitas negeri di Indonesia. Jadi, majalah ini gak level sama facebooknya Jonru atau website-website murahan yang dibuat berdasarkan pesanan orang. Majalah ini diperuntukkan untuk para eksekutif, pemerintah, atau organisasi internasional, bukan anak-anak kemarin sore yang bacaan sehari-harinya semacam “Udah Putusin Aja” atau buku-buku risalah pergerakan islami, atau malah 9gag.
the economist
Gambar 1. Economic and financial Indicators of several countries (Gambar hasil Scan)
Karena saya sekarang akan membicarakan mengenai kondisi umum Indonesia, maka saya pikir referensi tabel dari The Economist ini memenuhi 4 syarat utama dari sebuah literatur akademis, yakni: Relevan, Akurat, Terbaru, serta Dapat Dipercaya. Oya, ini beneran dari The Economist ya, bukan dari Wall Street Journal apalagi The Jakarta Globe. Saya gak diseleksia, apalagi buta huruf.
Salah satu indikator yang bikin Jokowi kemarin dikasih rapot merah adalah karena nilai rupiah yang katanya anjlok banget. Sebenernya ini saya heran, orang-orang dapet sumber darimana. Menurut tabel tersebut berikut saya kalkulasikan persentase anjloknya mata uang beberapa negara terhadap US Dolar :
Indonesia : – 12,67%
Malaysia : – 12,92%
Euro : – 30,56% (Ini pemerintahnya udah keseringan mabok kayanya)
Israel : – 14,41% (Ini Israel bolo-bolonya USA lo!)
Australia : – 21,50%
Jepang : – 16,67%
Denmark : -29,44% (Ini negara yang orang bisa tenang naroh laptop sembarangan)
Brazil : – 35,87%
Canada : – 11,82%
Singapura : – 8,8%
Inggris : – 11,67%
Hongkong : 0%
Silakan kalo ada yang mau ngitung selain itu dan cari mana Negara yang bisa punya persentase lebih baik dari Indonesia apalagi positif! Negara Uni Eropa aja pada kelenger sama USD, kok Rupiah pengen menguat?? Ckckck…
Ah, itu kan cuma salah satu faktor. Orang-orang pasti bakal mulai bilang saya ini bela-belain Jokowi. Buat orang-orang yang kepikiran kaya gitu, saya kasih tau, pendapatan saya pake US Dolar dan Poundsterling. Secara personal, saya lebih suka kalo rupiah melemah. Tidak ada alasan untuk saya membela presiden. Saya semata-mata hanya pengen ngeshare tabel dari majalah ini yang bisa dijadikan informasi penting untuk melihat status Negara kita sekarang. Apakah benar yang dikatakan orang-orang bahwa Indonesia ini sekarang carut marut dan mau hancur?
Mari kita tengok ke parameter lainnya. Kenaikan GDP Indonesia nomer 7 tahun 2015, dan di versi elektroniknya yang lebih interaktif, tahun 2016 Indonesia diprediksi akan jadi nomer 6 sedunia. Untuk produksi industrial, Indonesia rangking 21, that’s not bad at all. Kalo tingkat kenaikan Consumer Price emang Indonesia ini gak ada obat dari dulu. Selama saya di Depok, harga makanan di Kantin Teknik sama harga kosan saya SELALU NAIK 10-15% tiap tahun. Ini udah gak ada hubungannya sama Presiden atau pemerintah. Memang behaviournya kebanyakan orang Indonesia suka naikin harga barang sesuka hati. Unemployment rate Indonesia rangking 23 terbaik, mengalahkan India, Australia, Luxembourg, Belgia, Irlandia, Perancis, dan negara-negara lain yang biasanya dianggap lebih baik daripada Indonesia. Nilai yang jelek dari negara kita ada di Trade Balance sama Current Account Balance. Perlu diingat bahwa tidak ada negara yang nilainya positif semua, saudara-saudara. Jadi saya mungkin bisa memberikan opini bahwa Negara kita ini statusnya biasa-biasa saja, bahkan kalo dilihat dari nilai anjloknya Rupiah terhadap USD yang tidak terlalu buruk, ini agak anomali. Silakan konsultasi dengan para professor di bidang ekonomi atau politik tentang penyebab Negara kita bisa seperti itu. Kalo kalian mau ngobrol tentang material baru silakan hubungi saya.
Kalo kata Chris Sowton (2012),”Be rational – If you are not prepared to change your view about a subject, you should not be studying at university. You should be prepared to follow your reason, wherever it takes you. Be Open-Minded – One of the great opportunities of studying at university in a foreign country is to broaden your perspective. Be Radical – do not be afraid to adopt controversial positions if you believe them to be right. Just because a view is unpopular, or is different to what majority think, does not make it wrong. What makes it wrong is if it lacks of evidence.”
Jadi, apakah kalian juga masih berpikir bahwa demo besar-besaran masih diperlukan untuk menggulingkan presiden?
Oiya, salah satu hal yang bikin engap akhir-akhir ini adalah postingan tentang Ridwan Kamil yang dianggap presiden sama salah satu turis Jerman. First of all, ini awalnya postingan dari twitter, terus ke path, terus kemana-mana. Dari tangan pertama aja si empunya status cuma bilang “Kata Turis Jerman”. Terus ada lagi yang bilang “Kata orang Kenya, kata orang Zimbabwe, Antartika, dsb”. Saya gak tau dari aspek mana pernyataan kaya gini bisa gampang banget dipercaya dan dijadikan pedoman hidup oleh orang-orang. Untuk menilai kinerja seorang pejabat publik, postingan itu TIDAK RELEVAN, TIDAK AUTHORITATIVE, DAN TIDAK BISA DIPERCAYA. Terus dengan postingan kaya gitu, apakah orang-orang pikir tiba-tiba presiden Indonesia bakal ganti besok paginya?
Tapi sebetulnya ada sisi baik dari isu bodoh ini. Saya jadi cukup optimis dengan Indonesia. Kita ini ternyata bangsa yang dinamis dan sudah mau melangkah ke depan dengan mencari sosok-sosok pemimpin baru. Kita gak terus-menerus berkubang dalam masa lalu dengan pemerintahan yang hanya diisi oleh orang-orang lama yang sangat membosankan. Setelah Jokowi hadir sebagai sosok baru yang muncul di negeri ini, saya pikir orang seperti Ridwan Kamil bisa muncul di kemudian hari untuk menjadi presiden. Toh Jokowi juga berawal dari walikota kan. Saya membayangkan ketika saya settle nanti di Indonesia, perlahan ritme kemajuan bangsa ini sudah lebih harmonis.
Profesor saya pernah bilang, bukan tentang Jokowi vs Kang Emil, tapi tentang kebiasaan bangsa Perancis yang dulu suka banget buang sampah sembarang. Untuk menyembuhkan penyakit sepele ini dibutuhkan 1 generasi di negara beliau. Jadi, untuk benar-benar membuat Indonesia menjadi negara maju, saya perkirakan bisa memakan waktu yang cukup lama. Saya pikir tidak ada salahnya kalo setelah Jokowi, Kang Emil atau tokoh-tokoh muda lain ikut melanjutkan proses trasnformasi Indonesia, pokoknya bagi saya asal jangan orang-orang tuwir yang masih kolot dan gila kekuasaan.
Ini ada tambahan skrinsyut dari The Economist edisi Asia.
economist asia
Perlu ditegaskan bahwa bukan Jokowi sendiri, atau bahkan Kang Emil, yang bisa bikin pabrik Semikonduktor atau Smartphone! Tapi para engineer, akuntan, ahli hukum atau apapun itu keahlian spesifik kalian. Daripada kalian panas-panasan demo, lebih baik kan kalian belajar coding smartphone. Majalah Economist ini berpengaruh lo, bro! Kalo dia ngomong begitu, kemungkinan akan banyak investor yang terdorong untuk datang dan menggelontorkan duit mereka buat kita bikin teknologi yang lebih maju dari sekedar bikin suvenir gantungan kunci di Indonesia. Kalo kalian gak memanfaatkan kesempatan ini ya terserah aja sih. Suka-suka situ lah mau hidup gimana.
Dulu saya dapet beasiswa Schlumberger pertama kali saat pemerintahan SBY, sekarang saya dapat beasiswa untuk tahun kedua saat pemerintahan Jokowi. Apakah mereka berdua itu berjasa atas pencapaian saya ini? Well, bagi saya pemerintahan SBY atau pemerintahan Jokowi hanya berfungsi sebagai kata keterangan waktu, bukan hubungan sebab akibat atas kesuksesan atau kegagalan saya. Mau sekarang yang jadi Prabowo juga saya gak masalah. Kalo saya sampe gak bisa makan atau motor saya mogok gak ada bensinnya, berarti itu salah saya sendiri.
Sekali lagi saya kasih contoh : Saya sukses masuk PhD saat pemerintahan SBY. Saya mengerjakan riset yang sangat bagus saat pemerintahan Jokowi. Bukan : “Saya merasa merana karena dulu SBY jadi presiden”, atau bilang “Saya hidup susah karena Jokowi jadi presiden”. Terlalu jauh hubungan sebab akibatnya. Mungkin kalian juga harus mulai mengganti kalimat sebab akibat dengan kata-kata yang hanya menunjukkan hubungan waktu untuk siapapun presiden kita.
Dear saudara-saudara, kami para mahasiswa PhD ngerjain cuma 1 proyek riset yang “kecil” butuh waktu sampe 3 tahun. Ini presiden baru kemarin dilantik kok suruh nyelesaiin semua masalah bangsa yang udah kronis selama 6 bulan. Ini orang-orang BEM yang kemarin demo bisa gak ya nyelesaiin skripsi 3 minggu aja kira-kira? Though I agree that being stupid is one of human’s right, it is simply not recommended for you to use it. Saya ini suka beli kerudung buat nutupin kepala saya, tapi saya juga punya budget buat beli bacaan-bacaan bermutu untuk mengisi apa yang ditutupin sama kerudung saya.
Salam hangat dari kota Southampton…:)
Disclaimer : Tulisan ini sangat viral bagi saya. Harap dimengerti, ulasan ini hanyalah postingan blog dengan tingkat objektivitas sekitar 65%, bukan jurnal ilmiah yang datar dan garing tapi tingkat objektivitas bisa >95% karena diriset dalam jangka waktu yang lama oleh orang yang kompeten serta melalui proses editing yang ketat. Saya memasukkan opini pribadi saya mengenai beberapa hal di sini. Meski demikian, saya yakin untuk postingan seperti ini jarang yang bisa mencapai >50%, beberapa ada yang menuliskan cerita fiktif belaka tapi dibungkus seperti fakta. Majalah ini juga terbit tanggal 18 April siang, dan tanggal 18 April sore langsung saya tulis postingan ini. Jadi saya mohon maaf atas segala kekurangan di sana sini yang muncul karena saya tidak punya editor.
Terima kasih sekali lagi atas antusiasmenya! Saya akan berusaha menjawab komentar-komentar Anda, meski singkat, di tengah kesibukan saya sebagai mahasiswi di sini.

http://linkis.com/7OHQG

No comments: