Recent Economic and Financial Indicators Report
176
Saya
lampirkan laporan ekonomi dan finansial negara-negara di berbagai
belahan dunia. Tabel ini diambil dari majalah The Economist edisi cetak
di Inggris tanggal 18 April 2015. The Economist adalah salah satu
majalah berbasis ekonomi dan bisnis yang berkualitas di Inggris. Dengan
harga per eksemplar Rp 100ribu, itu berarti dalam satu semester harga
subscription-nya mencapai Rp 2,6 juta dan saya yakin nilai ini sama atau
lebih mahal dari rata-rata biaya SPP per semester universitas negeri di
Indonesia. Jadi, majalah ini gak level sama facebooknya Jonru atau
website-website murahan yang dibuat berdasarkan pesanan orang. Majalah
ini diperuntukkan untuk para eksekutif, pemerintah, atau organisasi
internasional, bukan anak-anak kemarin sore yang bacaan sehari-harinya
semacam “Udah Putusin Aja” atau buku-buku risalah pergerakan islami,
atau malah 9gag.
Gambar 1. Economic and financial Indicators of several countries (Gambar hasil Scan)
Karena saya
sekarang akan membicarakan mengenai kondisi umum Indonesia, maka saya
pikir referensi tabel dari The Economist ini memenuhi 4 syarat utama
dari sebuah literatur akademis, yakni: Relevan, Akurat, Terbaru, serta Dapat Dipercaya.
Oya, ini beneran dari The Economist ya, bukan dari Wall Street Journal
apalagi The Jakarta Globe. Saya gak diseleksia, apalagi buta huruf.
Salah satu
indikator yang bikin Jokowi kemarin dikasih rapot merah adalah karena
nilai rupiah yang katanya anjlok banget. Sebenernya ini saya heran,
orang-orang dapet sumber darimana. Menurut tabel tersebut berikut saya
kalkulasikan persentase anjloknya mata uang beberapa negara terhadap US
Dolar :
Indonesia : – 12,67%
Malaysia : – 12,92%
Euro : – 30,56% (Ini pemerintahnya udah keseringan mabok kayanya)
Israel : – 14,41% (Ini Israel bolo-bolonya USA lo!)
Australia : – 21,50%
Jepang : – 16,67%Denmark : -29,44% (Ini negara yang orang bisa tenang naroh laptop sembarangan)
Brazil : – 35,87%
Canada : – 11,82%
Singapura : – 8,8%
Inggris : – 11,67%
Hongkong : 0%
Silakan kalo
ada yang mau ngitung selain itu dan cari mana Negara yang bisa punya
persentase lebih baik dari Indonesia apalagi positif! Negara Uni Eropa
aja pada kelenger sama USD, kok Rupiah pengen menguat?? Ckckck…
Ah, itu kan
cuma salah satu faktor. Orang-orang pasti bakal mulai bilang saya ini
bela-belain Jokowi. Buat orang-orang yang kepikiran kaya gitu, saya
kasih tau, pendapatan saya pake US Dolar dan Poundsterling. Secara
personal, saya lebih suka kalo rupiah melemah. Tidak ada alasan untuk
saya membela presiden. Saya semata-mata hanya pengen ngeshare tabel dari
majalah ini yang bisa dijadikan informasi penting untuk melihat status
Negara kita sekarang. Apakah benar yang dikatakan orang-orang bahwa
Indonesia ini sekarang carut marut dan mau hancur?
Mari kita
tengok ke parameter lainnya. Kenaikan GDP Indonesia nomer 7 tahun 2015,
dan di versi elektroniknya yang lebih interaktif, tahun 2016 Indonesia
diprediksi akan jadi nomer 6 sedunia. Untuk produksi industrial,
Indonesia rangking 21, that’s not bad at all. Kalo tingkat kenaikan
Consumer Price emang Indonesia ini gak ada obat dari dulu. Selama saya
di Depok, harga makanan di Kantin Teknik sama harga kosan saya SELALU
NAIK 10-15% tiap tahun. Ini udah gak ada hubungannya sama Presiden atau
pemerintah. Memang behaviournya kebanyakan orang Indonesia suka naikin
harga barang sesuka hati. Unemployment rate Indonesia rangking 23
terbaik, mengalahkan India, Australia, Luxembourg, Belgia, Irlandia,
Perancis, dan negara-negara lain yang biasanya dianggap lebih baik
daripada Indonesia. Nilai yang jelek dari negara kita ada di Trade
Balance sama Current Account Balance. Perlu diingat bahwa tidak ada
negara yang nilainya positif semua, saudara-saudara. Jadi saya mungkin
bisa memberikan opini bahwa Negara kita ini statusnya biasa-biasa saja,
bahkan kalo dilihat dari nilai anjloknya Rupiah terhadap USD yang tidak
terlalu buruk, ini agak anomali. Silakan konsultasi dengan para
professor di bidang ekonomi atau politik tentang penyebab Negara kita
bisa seperti itu. Kalo kalian mau ngobrol tentang material baru silakan
hubungi saya.
Kalo kata Chris Sowton (2012),”Be
rational – If you are not prepared to change your view about a subject,
you should not be studying at university. You should be prepared to
follow your reason, wherever it takes you. Be Open-Minded – One of the
great opportunities of studying at university in a foreign country is to
broaden your perspective. Be Radical – do not be afraid to adopt
controversial positions if you believe them to be right. Just because a
view is unpopular, or is different to what majority think, does not make
it wrong. What makes it wrong is if it lacks of evidence.”
Jadi, apakah kalian juga masih berpikir bahwa demo besar-besaran masih diperlukan untuk menggulingkan presiden?
Oiya, salah
satu hal yang bikin engap akhir-akhir ini adalah postingan tentang
Ridwan Kamil yang dianggap presiden sama salah satu turis Jerman. First
of all, ini awalnya postingan dari twitter, terus ke path, terus
kemana-mana. Dari tangan pertama aja si empunya status cuma bilang “Kata
Turis Jerman”. Terus ada lagi yang bilang “Kata orang Kenya, kata orang
Zimbabwe, Antartika, dsb”. Saya gak tau dari aspek mana pernyataan kaya
gini bisa gampang banget dipercaya dan dijadikan pedoman hidup oleh
orang-orang. Untuk menilai kinerja seorang pejabat publik, postingan itu
TIDAK RELEVAN, TIDAK AUTHORITATIVE, DAN TIDAK BISA DIPERCAYA. Terus
dengan postingan kaya gitu, apakah orang-orang pikir tiba-tiba presiden
Indonesia bakal ganti besok paginya?
Tapi
sebetulnya ada sisi baik dari isu bodoh ini. Saya jadi cukup optimis
dengan Indonesia. Kita ini ternyata bangsa yang dinamis dan sudah mau
melangkah ke depan dengan mencari sosok-sosok pemimpin baru. Kita gak
terus-menerus berkubang dalam masa lalu dengan pemerintahan yang hanya
diisi oleh orang-orang lama yang sangat membosankan. Setelah Jokowi
hadir sebagai sosok baru yang muncul di negeri ini, saya pikir orang
seperti Ridwan Kamil bisa muncul di kemudian hari untuk menjadi
presiden. Toh Jokowi juga berawal dari walikota kan. Saya membayangkan
ketika saya settle nanti di Indonesia, perlahan ritme kemajuan bangsa
ini sudah lebih harmonis.
Profesor
saya pernah bilang, bukan tentang Jokowi vs Kang Emil, tapi tentang
kebiasaan bangsa Perancis yang dulu suka banget buang sampah sembarang.
Untuk menyembuhkan penyakit sepele ini dibutuhkan 1 generasi di negara
beliau. Jadi, untuk benar-benar membuat Indonesia menjadi negara maju,
saya perkirakan bisa memakan waktu yang cukup lama. Saya pikir tidak ada
salahnya kalo setelah Jokowi, Kang Emil atau tokoh-tokoh muda lain ikut
melanjutkan proses trasnformasi Indonesia, pokoknya bagi saya asal
jangan orang-orang tuwir yang masih kolot dan gila kekuasaan.
Ini ada tambahan skrinsyut dari The Economist edisi Asia.
Perlu
ditegaskan bahwa bukan Jokowi sendiri, atau bahkan Kang Emil, yang bisa
bikin pabrik Semikonduktor atau Smartphone! Tapi para engineer, akuntan,
ahli hukum atau apapun itu keahlian spesifik kalian. Daripada kalian
panas-panasan demo, lebih baik kan kalian belajar coding smartphone.
Majalah Economist ini berpengaruh lo, bro! Kalo dia ngomong begitu,
kemungkinan akan banyak investor yang terdorong untuk datang dan
menggelontorkan duit mereka buat kita bikin teknologi yang lebih maju
dari sekedar bikin suvenir gantungan kunci di Indonesia. Kalo kalian gak
memanfaatkan kesempatan ini ya terserah aja sih. Suka-suka situ lah mau
hidup gimana.
Dulu saya
dapet beasiswa Schlumberger pertama kali saat pemerintahan SBY, sekarang
saya dapat beasiswa untuk tahun kedua saat pemerintahan Jokowi. Apakah
mereka berdua itu berjasa atas pencapaian saya ini? Well, bagi saya
pemerintahan SBY atau pemerintahan Jokowi hanya berfungsi sebagai kata
keterangan waktu, bukan hubungan sebab akibat atas kesuksesan atau
kegagalan saya. Mau sekarang yang jadi Prabowo juga saya gak masalah.
Kalo saya sampe gak bisa makan atau motor saya mogok gak ada bensinnya,
berarti itu salah saya sendiri.
Sekali lagi saya kasih contoh : Saya sukses masuk PhD saat pemerintahan SBY. Saya mengerjakan riset yang sangat bagus saat pemerintahan Jokowi. Bukan : “Saya merasa merana karena dulu SBY jadi presiden”, atau bilang “Saya hidup susah karena Jokowi
jadi presiden”. Terlalu jauh hubungan sebab akibatnya. Mungkin kalian
juga harus mulai mengganti kalimat sebab akibat dengan kata-kata yang
hanya menunjukkan hubungan waktu untuk siapapun presiden kita.
Dear
saudara-saudara, kami para mahasiswa PhD ngerjain cuma 1 proyek riset
yang “kecil” butuh waktu sampe 3 tahun. Ini presiden baru kemarin
dilantik kok suruh nyelesaiin semua masalah bangsa yang udah kronis
selama 6 bulan. Ini orang-orang BEM yang kemarin demo bisa gak ya
nyelesaiin skripsi 3 minggu aja kira-kira? Though I agree that being
stupid is one of human’s right, it is simply not recommended for you to
use it. Saya ini suka beli kerudung buat nutupin kepala saya, tapi saya
juga punya budget buat beli bacaan-bacaan bermutu untuk mengisi apa yang
ditutupin sama kerudung saya.
Salam hangat dari kota Southampton…:)
Disclaimer : Tulisan ini sangat viral
bagi saya. Harap dimengerti, ulasan ini hanyalah postingan blog dengan
tingkat objektivitas sekitar 65%, bukan jurnal ilmiah yang datar dan
garing tapi tingkat objektivitas bisa >95% karena diriset dalam
jangka waktu yang lama oleh orang yang kompeten serta melalui proses
editing yang ketat. Saya memasukkan opini pribadi saya mengenai beberapa
hal di sini. Meski demikian, saya yakin untuk postingan seperti ini
jarang yang bisa mencapai >50%, beberapa ada yang menuliskan cerita
fiktif belaka tapi dibungkus seperti fakta. Majalah ini juga terbit
tanggal 18 April siang, dan tanggal 18 April sore langsung saya tulis
postingan ini. Jadi saya mohon maaf atas segala kekurangan di sana sini
yang muncul karena saya tidak punya editor.
Terima kasih sekali lagi atas
antusiasmenya! Saya akan berusaha menjawab komentar-komentar Anda, meski
singkat, di tengah kesibukan saya sebagai mahasiswi di sini.
http://linkis.com/7OHQG